Metode Pengukuran Konsistensi Warna Farmasi: Panduan QC

Spektrofotometer di meja lab farmasi dengan sampel, menunjukkan proses pengukuran konsistensi warna untuk QC.

Sebagai seorang analis Quality Control (QC) di industri farmasi, Anda mungkin pernah menghadapi momen ini: dua batch produk sirup obat yang seharusnya identik, namun saat disandingkan di bawah lampu laboratorium, salah satunya tampak memiliki rona warna yang sedikit berbeda. Perbedaan ini mungkin nyaris tak terlihat, namun cukup untuk memicu pertanyaan kritis: Apakah ini hanya variasi minor, atau pertanda adanya masalah kualitas yang lebih dalam?

Inkonsistensi warna pada sediaan farmasi cair bukan sekadar masalah estetika. Ini adalah parameter kualitas kritis yang secara langsung terkait dengan stabilitas produk, kemurnian bahan, keamanan pasien, dan kepatuhan terhadap regulasi Good Manufacturing Practices (GMP). Penyimpangan warna bisa menjadi sinyal pertama adanya degradasi zat aktif, kontaminasi, atau masalah dalam proses produksi.

Artikel ini adalah buku panduan definitif Anda untuk menguasai manajemen dan pengukuran konsistensi warna. Kami akan membimbing Anda beralih dari penilaian visual yang subjektif ke metode instrumental yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Mulai dari validasi metode pengukuran menggunakan colorimeter, interpretasi data CIE Lab*, hingga prosedur investigasi hasil di luar spesifikasi (Out-of-Specification/OOS) yang sistematis, panduan ini akan memberdayakan Anda untuk memastikan setiap batch produk memenuhi standar kualitas tertinggi dan persyaratan regulasi yang ketat.

  1. Mengapa Konsistensi Warna Adalah Parameter Kualitas Kritis?
    1. Warna Sebagai Indikator Stabilitas dan Degradasi Produk
    2. Peran Warna dalam Kepercayaan Pasien dan Kepatuhan Regulasi
  2. Metode Pengukuran Warna: Dari Visual ke Instrumental Objektif
    1. Prinsip Kerja Colorimeter dan Spektrofotometer di Lab Farmasi
    2. Memahami Bahasa Warna: Sistem CIE Lab dan Delta E (ΔE*)
    3. Memilih Skala Warna yang Tepat: APHA/Hazen, Gardner, dan Standar Farmakope
  3. Panduan Praktis: Cara Mengukur Warna Larutan Farmasi (SOP)
    1. Langkah 1: Kalibrasi Instrumen dan Verifikasi Kinerja
    2. Langkah 2: Persiapan Sampel yang Benar
    3. Langkah 3: Interpretasi dan Dokumentasi Hasil
  4. Kerangka Kerja GMP: Mengelola Penyimpangan Warna (OOS)
    1. Fase 1: Investigasi Laboratorium Awal
    2. Fase 2: Investigasi Produksi dan Analisis Akar Masalah (RCA)
  5. Strategi Proaktif: Menjaga Stabilitas dan Konsistensi Warna
    1. Peran Krusial Studi Stabilitas (ICH Q1A & Q1B)
    2. Validasi Metode Pengukuran Warna Sesuai ICH Q2(R1)
  6. Kesimpulan
  7. References

Mengapa Konsistensi Warna Adalah Parameter Kualitas Kritis?

Dalam quality control warna farmasi, konsistensi adalah segalanya. Warna yang seragam dari batch ke batch berfungsi sebagai jaminan visual bagi profesional kesehatan dan pasien bahwa produk yang mereka gunakan aman, efektif, dan tidak berubah dari formula yang telah disetujui. Lebih dari itu, konsistensi warna adalah pilar fundamental dalam kerangka kerja GMP yang disyaratkan oleh badan regulasi seperti BPOM di Indonesia dan FDA di Amerika Serikat.

Stabilitas warna sediaan cair merupakan salah satu atribut fisik utama yang dievaluasi dalam studi stabilitas, sebagaimana diamanatkan oleh pedoman dari United States Pharmacopeia (USP) dan International Council for Harmonisation (ICH). Penyimpangan dari warna yang telah ditetapkan dapat mengindikaskan masalah serius, di mana perubahan warna dapat menjadi tanda degradasi zat aktif hingga 5-10% atau lebih, yang secara langsung berdampak pada efikasi dan keamanan produk.

Warna Sebagai Indikator Stabilitas dan Degradasi Produk

Perubahan warna seringkali merupakan gejala pertama dari ketidakstabilan kimia dalam formulasi sediaan cair. Ini bisa menjadi tanda dari berbagai proses degradasi yang tidak diinginkan, seperti:

  • Oksidasi: Interaksi antara komponen formulasi dengan oksigen dapat menghasilkan produk degradasi berwarna.
  • Fotodegradasi: Paparan cahaya, terutama sinar UV, dapat memicu reaksi kimia yang mengubah warna produk. Ini adalah alasan mengapa studi fotostabilitas sangat penting.
  • Interaksi Kimia: Reaksi antara zat aktif dengan eksipien (bahan tambahan) atau dengan bahan kemas dapat menghasilkan perubahan warna seiring waktu.
  • Perubahan pH: Fluktuasi pH di luar rentang yang ditentukan dapat mengubah struktur molekul beberapa senyawa, yang mengakibatkan perubahan warna yang signifikan.

Pedoman stabilitas ICH Q1A(R2) secara eksplisit mencantumkan “penampilan” (appearance), yang mencakup warna dan kejernihan, sebagai salah satu parameter uji wajib dalam program studi stabilitas jangka panjang dan dipercepat1. Secara khusus, pedoman ICH Q1B Photostability Testing dirancang untuk mengevaluasi dampak paparan cahaya terhadap produk, di mana perubahan warna seperti pemudaran atau penggelapan menjadi indikator kunci adanya fotodegradasi2. Untuk informasi lebih mendalam, Anda dapat merujuk pada ICH Q1A(R2) Stability Testing Guidelines.

Peran Warna dalam Kepercayaan Pasien dan Kepatuhan Regulasi

Di luar laboratorium, warna produk farmasi memiliki dampak psikologis yang kuat. Pasien mengasosiasikan warna yang konsisten dengan kualitas dan keandalan. Jika seorang pasien menerima sebotol sirup batuk yang warnanya tampak lebih gelap dari botol sebelumnya, hal ini dapat menimbulkan keraguan, mengurangi kepercayaan, dan bahkan menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan.

Dari sisi regulasi, konsistensi adalah mandat. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) menuntut agar produsen memiliki kontrol yang ketat terhadap semua atribut kualitas produk, termasuk warna3. Setiap batch yang diproduksi harus sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dan divalidasi. Standar global seperti yang ditetapkan dalam United States Pharmacopeia (USP) juga menyediakan metode dan kriteria untuk penilaian warna, yang menjadi acuan bagi industri di seluruh dunia4. Kegagalan untuk memenuhi standar warna dapat berakibat pada penolakan batch, investigasi regulasi, dan dalam kasus yang parah, penarikan produk dari pasar.

Metode Pengukuran Warna: Dari Visual ke Instrumental Objektif

Secara historis, evaluasi warna dalam farmasi bergantung pada perbandingan visual yang subjektif. Namun, metode ini memiliki kelemahan signifikan, termasuk variabilitas antar analis dan pengaruh kondisi pencahayaan. Untuk mengatasi hal ini, industri farmasi modern telah beralih ke metode instrumental yang objektif dan kuantitatif.

Standar industri seperti USP Chapter <631> Color and Achromicity mengakui kedua pendekatan ini. Metode I adalah penilaian organoleptik (visual) tradisional, sementara Metode II adalah penilaian instrumental yang lebih presisi dan reprodusibel4. Penggunaan instrumen seperti colorimeter atau spektrofotometer memungkinkan laboratorium QC untuk menerjemahkan warna menjadi data numerik yang tidak ambigu. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah catatan aplikasi oleh Thermo Fisher Scientific, spektrofotometer dapat mengukur spektrum cahaya yang ditransmisikan oleh larutan dan mengubah data spektral ini menjadi nilai tristimulus yang mengkuantifikasi warna secara objektif5.

Untuk kebutuhan colorimeter, berikut produk yang direkomendasikan:

Prinsip Kerja Colorimeter dan Spektrofotometer di Lab Farmasi

Meskipun sering digunakan secara bergantian, colorimeter dan spektrofotometer bekerja dengan prinsip yang sedikit berbeda.

  • Colorimeter: Instrumen ini bekerja dengan meniru cara mata manusia memandang warna. Colorimeter mengukur cahaya yang melewati filter merah, hijau, dan biru, lalu mengubahnya menjadi nilai tristimulus (X, Y, Z). Ini adalah metode yang cepat dan efisien untuk pengukuran warna rutin dan perbandingan batch-to-batch.
  • Spektrofotometer: Instrumen ini lebih canggih. Spektrofotometer mengukur jumlah cahaya yang diserap atau ditransmisikan oleh sampel pada setiap panjang gelombang di seluruh spektrum tampak (biasanya 380-780 nm). Data spektral yang detail ini kemudian dapat diolah secara matematis untuk menghasilkan koordinat warna yang sangat akurat, seperti CIE Lab*, menjadikannya alat yang ideal untuk riset, pengembangan formulasi, dan investigasi masalah warna yang kompleks5.

Memahami Bahasa Warna: Sistem CIE Lab dan Delta E (ΔE*)

Untuk mengkomunikasikan warna secara universal dan objektif, industri farmasi mengandalkan sistem warna CIE Lab*. Sistem ini mendefinisikan warna dalam ruang tiga dimensi:

  • L* (Lightness): Merepresentasikan kecerahan, dengan rentang dari 0 (hitam mutlak) hingga 100 (putih sempurna).
  • a* (Sumbu Merah/Hijau): Nilai positif menunjukkan rona kemerahan, sementara nilai negatif menunjukkan rona kehijauan.
  • b* (Sumbu Kuning/Biru): Nilai positif menunjukkan rona kekuningan, dan nilai negatif menunjukkan rona kebiruan.

Dengan sistem ini, setiap warna dapat diidentifikasi dengan serangkaian koordinat numerik yang unik. Namun, nilai terpenting dalam QC adalah Delta E (ΔE). Ini adalah nilai tunggal yang merepresentasikan total perbedaan warna antara dua sampel (misalnya, sampel produksi dan standar referensi).

Sebagai aturan umum industri, nilai ΔE < 1.0 umumnya dianggap sebagai perbedaan warna yang tidak terlihat oleh mata manusia. Laboratorium QC dapat menetapkan batas spesifikasi untuk ΔE (misalnya, ΔE ≤ 2.0) untuk menentukan apakah variasi warna suatu batch dapat diterima. Sebagai contoh praktis: Jika Batch A memiliki nilai Lab (95, 1, 2) dan Batch B memiliki nilai (94, 1.5, 2.5), perhitungan ΔE* akan secara cepat dan objektif menentukan apakah penyimpangan ini berada dalam batas toleransi yang telah ditetapkan.

Memilih Skala Warna yang Tepat: APHA/Hazen, Gardner, dan Standar Farmakope

Selain sistem CIE Lab*, beberapa skala warna spesifik digunakan untuk aplikasi tertentu dalam industri farmasi dan kimia:

  • Skala APHA/Hazen (Pt-Co Scale): Digunakan secara luas untuk mengukur tingkat kekuningan pada cairan yang hampir tidak berwarna atau bening, seperti air murni atau pelarut. Skala ini memiliki rentang dari 0 (jernih seperti air) hingga 500 (kuning pucat).
  • Skala Gardner: Dirancang untuk cairan dengan warna yang lebih pekat, seperti resin, minyak, atau pernis. Skala ini memiliki rentang dari 1 (kuning muda) hingga 18 (merah kecoklatan pekat).
  • Standar Farmakope: Beberapa farmakope, seperti European Pharmacopoeia (Ph. Eur.), masih menggunakan metode perbandingan visual dengan serangkaian larutan referensi standar berwarna yang telah disiapkan secara spesifik8. Metode ini, meskipun tradisional, masih relevan untuk pengujian kepatuhan terhadap monograf tertentu.

Pemilihan skala yang tepat bergantung pada sifat sampel dan persyaratan monograf atau spesifikasi internal perusahaan.

Panduan Praktis: Cara Mengukur Warna Larutan Farmasi (SOP)

Mengimplementasikan pengukuran warna instrumental yang akurat dan konsisten membutuhkan prosedur operasi standar (SOP) yang solid. Berikut adalah panduan langkah-demi-langkah yang dapat diikuti oleh analis QC.

Langkah 1: Kalibrasi Instrumen dan Verifikasi Kinerja

Akurasi dimulai dari instrumen yang terkalibrasi dengan baik. Sebelum melakukan pengukuran, selalu lakukan prosedur kalibrasi sesuai petunjuk pabrikan, yang biasanya melibatkan:

  1. Kalibrasi Nol (Hitam): Menggunakan “perangkap cahaya” atau standar hitam untuk mengatur titik nol instrumen.
  2. Kalibrasi Putih: Menggunakan standar keramik putih bersertifikat untuk mengatur titik referensi 100%.

Setelah kalibrasi, lakukan verifikasi kinerja menggunakan Certified Reference Materials (CRMs) atau standar warna cair yang dapat ditelusuri. Catat semua hasil kalibrasi dan verifikasi dalam log sheet instrumen, sebuah praktik dokumentasi GMP yang esensial untuk memastikan keterlacakan dan integritas data.

Langkah 2: Persiapan Sampel yang Benar

Hasil pengukuran hanya akan seakurat persiapan sampel Anda. Perhatikan faktor-faktor krusial berikut:

  • Kuvet: Gunakan kuvet optik berkualitas tinggi dengan panjang jalur (path length) yang konsisten (umumnya 10 mm) untuk semua pengukuran agar data dapat dibandingkan. Pastikan kuvet benar-benar bersih, kering, dan bebas dari goresan.
  • Kejernihan Sampel: Sampel harus bebas dari gelembung udara dan partikulat. Jika sampel keruh atau berupa suspensi, metode pengukuran mungkin perlu disesuaikan (misalnya, menggunakan geometri pengukuran yang berbeda atau sentrifugasi jika memungkinkan) untuk menghindari pembacaan yang salah akibat hamburan cahaya.
  • Suhu: Pastikan sampel dan instrumen berada pada suhu yang sama (kesetimbangan suhu) untuk menghindari efek termokromisme (perubahan warna akibat suhu).

Langkah 3: Interpretasi dan Dokumentasi Hasil

Setelah pengukuran, langkah selanjutnya adalah interpretasi dan dokumentasi.

  1. Bandingkan dengan Standar: Bandingkan data Lab* dari sampel produksi dengan standar referensi atau data dari batch sebelumnya yang telah disetujui.
  2. Hitung ΔE: Hitung nilai Delta E untuk mengkuantifikasi perbedaan warna.
  3. Verifikasi Spesifikasi: Pastikan nilai L, a, b, dan ΔE berada dalam rentang spesifikasi yang telah ditetapkan.
  4. Dokumentasi: Catat semua hasil secara akurat pada lembar kerja analisis atau sistem LIMS. Laporan pada Sertifikat Analisis (Certificate of Analysis – CoA) harus mencantumkan hasil dan spesifikasi yang jelas, misalnya: L = 95.2 (Spesifikasi: 95 ± 2), a = 0.5 (Spesifikasi: 0 ± 1), b* = 1.3 (Spesifikasi: 1 ± 1).

Kerangka Kerja GMP: Mengelola Penyimpangan Warna (OOS)

Salah satu tantangan terbesar di laboratorium QC adalah ketika hasil pengujian jatuh di luar spesifikasi yang telah ditetapkan. Hasil OOS untuk parameter warna harus ditangani melalui proses investigasi yang formal, sistematis, dan terdokumentasi dengan baik, sejalan dengan panduan regulasi.

Sebuah artikel yang diulas sejawat dalam The AAPS Journal menyoroti bahwa badan regulasi seperti FDA telah mengeluarkan panduan spesifik tentang cara melakukan investigasi OOS6. Proses ini dirancang untuk menentukan apakah hasil OOS disebabkan oleh kesalahan dalam proses pengukuran (kesalahan laboratorium) atau oleh masalah pada produk itu sendiri (kegagalan proses manufaktur). Untuk panduan resmi, FDA Guidance on OOS Investigations adalah sumber daya utama.

Fase 1: Investigasi Laboratorium Awal

Ketika hasil OOS warna teridentifikasi, investigasi Fase 1 harus segera dimulai di laboratorium. Tujuannya adalah untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kesalahan analitik. Langkah-langkahnya meliputi:

  1. Diskusi Analis & Supervisor: Analis yang melakukan pengujian harus mendiskusikan hasilnya dengan supervisor laboratorium.
  2. Pemeriksaan Data & Prosedur: Tinjau kembali semua data mentah, perhitungan, dan catatan untuk memastikan tidak ada kesalahan transkripsi atau kalkulasi. Verifikasi bahwa prosedur pengujian (SOP) telah diikuti dengan benar.
  3. Pemeriksaan Instrumen & Kalibrasi: Periksa log kalibrasi dan verifikasi kinerja instrumen untuk memastikan alat berfungsi dengan benar pada saat pengujian.
  4. Pemeriksaan Sampel & Standar: Pastikan sampel yang benar telah diuji, dan standar referensi yang digunakan masih valid.
  5. Pengujian Ulang (Re-testing): Jika investigasi awal menunjukkan kemungkinan kesalahan analitik, pengujian ulang pada porsi sampel asli dapat dilakukan sesuai dengan SOP investigasi OOS perusahaan.

Jika investigasi Fase 1 secara meyakinkan menemukan akar penyebab kesalahan di laboratorium, hasil OOS awal dapat dibatalkan dan digantikan dengan hasil pengujian ulang yang valid.

Fase 2: Investigasi Produksi dan Analisis Akar Masalah (RCA)

Jika tidak ada bukti kesalahan laboratorium yang ditemukan, investigasi harus diperluas ke Fase 2, yang mencakup tinjauan penuh terhadap proses produksi. Ini adalah investigasi komprehensif yang melibatkan departemen Produksi, Quality Assurance (QA), dan departemen terkait lainnya.

Tujuan utamanya adalah untuk melakukan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis – RCA) untuk mengidentifikasi sumber sebenarnya dari penyimpangan warna. Salah satu alat RCA yang paling efektif adalah diagram Fishbone (Ishikawa), yang membantu memetakan potensi penyebab dari berbagai kategori, seperti:

  • Bahan Baku (Materials): Apakah ada variasi warna pada lot bahan baku atau eksipien yang digunakan?
  • Mesin (Machine): Apakah ada masalah dengan peralatan pencampuran, pemanasan, atau transfer?
  • Metode (Method): Apakah parameter proses kritis (misalnya, waktu pencampuran, suhu) menyimpang dari yang ditetapkan?
  • Manusia (Manpower): Apakah ada kesalahan operator atau penyimpangan dari prosedur?
  • Lingkungan (Environment): Apakah ada paparan cahaya atau suhu yang tidak biasa selama proses?

Setelah akar masalah diidentifikasi, perusahaan harus menetapkan Tindakan Korektif dan Pencegahan (Corrective and Preventive Actions – CAPA) untuk memperbaiki masalah pada batch yang bersangkutan dan mencegahnya terulang kembali di masa depan.

Strategi Proaktif: Menjaga Stabilitas dan Konsistensi Warna

Manajemen warna yang efektif tidak hanya bersifat reaktif (menangani OOS), tetapi juga proaktif. Tujuannya adalah untuk membangun kualitas ke dalam produk sejak awal, sebuah konsep yang dikenal sebagai Quality by Design (QbD). Ini melibatkan kontrol yang ketat di seluruh siklus hidup produk.

Peran Krusial Studi Stabilitas (ICH Q1A & Q1B)

Studi stabilitas adalah landasan untuk memahami dan memastikan konsistensi warna produk selama masa edarnya. Dengan mengekspos produk pada berbagai kondisi suhu, kelembaban, dan cahaya (sesuai pedoman ICH Q1A dan Q1B), perusahaan dapat:

  • Memprediksi potensi perubahan warna dari waktu ke waktu.
  • Menentukan umur simpan (shelf life) produk.
  • Menetapkan kondisi penyimpanan yang direkomendasikan (misalnya, “simpan di tempat sejuk dan terlindung dari cahaya”).
  • Memilih bahan kemasan yang tepat. Data stabilitas dapat secara definitif menunjukkan perlunya menggunakan botol kaca amber untuk melindungi produk yang peka cahaya, dibandingkan dengan botol bening.

Informasi lebih lanjut mengenai pengujian terhadap paparan cahaya dapat ditemukan dalam panduan ICH Q1B Photostability Testing.

Validasi Metode Pengukuran Warna Sesuai ICH Q2(R1)

Setiap metode analitik yang digunakan untuk rilis produk, termasuk pengukuran warna instrumental, harus divalidasi. Menurut pedoman ICH Q2(R1) on Analytical Procedure Validation, validasi adalah proses untuk menunjukkan bahwa suatu prosedur analitik sesuai untuk tujuan yang dimaksud7. Untuk metode pengukuran warna, parameter validasi utama yang harus dievaluasi meliputi:

  • Akurasi: Kedekatan hasil tes dengan nilai sebenarnya (diuji menggunakan standar warna bersertifikat).
  • Presisi:
    • Repeatability: Variasi dalam serangkaian pengukuran yang dilakukan pada sampel yang sama, dalam waktu singkat, oleh analis yang sama.
    • Intermediate Precision: Variasi dalam laboratorium karena faktor-faktor seperti hari yang berbeda, analis yang berbeda, atau peralatan yang berbeda.
  • Spesifisitas: Kemampuan metode untuk mengukur warna secara akurat di hadapan komponen lain dalam matriks sampel.
  • Linearitas & Rentang: Kemampuan metode untuk memberikan hasil yang berbanding lurus dengan konsentrasi (jika relevan) dalam rentang tertentu.

Laporan validasi yang komprehensif adalah dokumen penting yang membuktikan bahwa metode pengukuran warna Anda andal, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan saat audit regulasi.

Kesimpulan

Manajemen konsistensi warna dalam industri farmasi telah berevolusi jauh dari sekadar pemeriksaan visual. Peralihan ke manajemen warna yang objektif dan berbasis data adalah suatu keharusan untuk laboratorium QC modern. Ini bukan hanya tentang memenuhi spesifikasi, tetapi tentang memahami cerita yang diungkapkan oleh warna—cerita tentang stabilitas, kualitas, dan keamanan produk.

Dengan mengimplementasikan metode pengukuran instrumental yang andal, memvalidasi prosedur tersebut sesuai standar global seperti ICH, dan menerapkan kerangka kerja investigasi OOS yang sistematis, para profesional QC dapat dengan percaya diri menjaga integritas produk mereka. Anda tidak hanya memastikan kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga memperkuat kepercayaan pasien dan melindungi reputasi perusahaan Anda sebagai produsen obat-obatan berkualitas tinggi.

Sebagai penyedia dan distributor alat ukur dan instrumen pengujian terkemuka, CV. Java Multi Mandiri memahami tantangan yang dihadapi oleh klien bisnis dan industri dalam menjaga standar kualitas tertinggi. Kami berspesialisasi dalam menyediakan colorimeter, spektrofotometer, dan instrumen laboratorium lainnya yang dirancang untuk aplikasi komersial yang menuntut. Kami siap menjadi mitra Anda dalam mengoptimalkan operasi QC dan memenuhi kebutuhan peralatan perusahaan Anda. Untuk mendiskusikan kebutuhan perusahaan Anda, silakan hubungi tim spesialis kami.

Rekomendasi Colorimeter


This article is for informational and educational purposes only and should not be considered a substitute for official regulatory guidelines, company-specific SOPs, or professional consultation. Always refer to the latest official pharmacopeia and regulatory documents.

References

  1. International Council for Harmonisation of Technical Requirements for Pharmaceuticals for Human Use. (2003). ICH Q1A(R2) Stability Testing of New Drug Substances and Products. Retrieved from https://www.fda.gov/media/71707/download
  2. International Council for Harmonisation of Technical Requirements for Pharmaceuticals for Human Use. (1996). ICH Q1B Photostability Testing of New Drug Substances and Products. Retrieved from https://database.ich.org/sites/default/files/Q1B%20Guideline.pdf
  3. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (N.D.). Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
  4. United States Pharmacopeia. (N.D.). 〈631〉 Color and Achromicity. USP-NF. Retrieved from https://doi.usp.org/USPNF/USPNF_M99390_02_01.html
  5. Thermo Fisher Scientific. (N.D.). Color analysis for pharmaceutical products using UV-Visible absorption techniques. Application Note AN56364. Retrieved from https://documents.thermofisher.com/TFS-Assets/MSD/Application-Notes/color-analysis-pharmaceutical-an56364-en.pdf
  6. Brisbin, J., et al. (2012). Nonclinical Dose Formulation: Out of Specification Investigations. The AAPS Journal. Retrieved from https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3385838/
  7. International Council for Harmonisation of Technical Requirements for Pharmaceuticals for Human Use. (1995/2005). ICH Q2(R1) Validation of Analytical Procedures: Text and Methodology. Retrieved from https://database.ich.org/sites/default/files/Q2%28R1%29%20Guideline.pdf
  8. European Directorate for the Quality of Medicines & HealthCare (EDQM). (N.D.). European Pharmacopoeia (Ph. Eur.).
  9. U.S. Food and Drug Administration. (2022). Investigating Out-of-Specification (OOS) Test Results for Pharmaceutical Production – Guidance for Industry. Retrieved from https://www.fda.gov/media/158416/download